Rabu, 21 Oktober 2009

Sejarah Depok

Kata “Depok” merupakan singkatan dari “De Eerste Protestants Onderdaan Kerk” (Gereja Kristen Rakyat Pertama).

Sejarah Depok tak bisa mengabaikan Cornelis Chastelein.
Dialah orang Belanda yang membuat daerah Depok memiliki kekhasan tersendiri.
Cornelis Chastelein adalah lelaki keturunan Perancis-Belanda.

Ayahnya,
Anthonie Chastelein, adalah seorang Perancis yang menyeberang ke Belanda dan
bekerja di perusahaan milik Belanda, VOC (Verenige Oost Indische Compagnie).
Ibunya bernama Maria Cruidenar, putri seorang walikota Dordtrecht.
Keluarga
Anthonie Chastelein, termasuk Cornelis, merupakan pemeluk Protestan yang taat.
Anak bungsu ini, kemudian juga mengikuti jejak ayahnya, bekerja di VOC. Ia
berangkat ke Indonesia dengan menumpang kapal uap. Setelah berlayar selama tujuh
bulan, melalui Tanjung Harapan, ujung selatan Benua Afrika, ia tiba di Batavia
(Betawi).

Setelah beberapa bulan tinggal di Batavia, ia mengawini seorang
gadis Belanda, Catharina van Vaalberg. Dari pernikahannya itu, ia dikaruniai
seorang anak yang diberi nama sama dengan ayahnya, Anthonie
Chastelein.

Cornelis Chastelein pemuda yang rajin. Tak aneh kalau kariernya
cepat menanjak. Ia juga seorang yang hemat. Ketika terjadi peralihan jabatan
dalam tubuh VOC, dimana jenderal Willem van Outhorn menggantikan Jenderal
Johanes Camphuys, Chastelein akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Ia
merasa tak cocok lagi bekerja di situ.

Chastelein kemudian menjadi seorang
wirasastawan. Ia mencurahkan perhatiannya pada sektor pertanian. Pada akhir abad
17, ia membeli tanah di kawasan Depok, Jawa barat. Untuk mengerjakan tanah yang
luasnya ratusan hektar itu, ia mendatangkan pekerja-pekerja dari Bali,
Kalimantan, Sulawesi dan Betawi.
Chastelein ternyata tidak hanya seorang
majikan yang baik, ia adalah tuan tanah yang juga berperan sebagai penginjil.
Semua pekerjanya harus memeluk agama Kristen Protestan. Dan kepada mereka juga
di beri fasilitas belajar dan hak lainnya, yang sama seperti yang dicicipi warga
Belanda.

Sebagai tuan tanah partikelir, Chastelein berhak mengurus tanahnya
dan memerintah sesuai garis kebijaksanaan yang ditetapkannya sendiri, tanpa
campur tangan pihak luar. Dan ia memang menyiapkan pemerintahannya itu.
Rumah
sakit Harapan, yang terletak di jalam Pemuda, dahulu adalah gedung
pemerintahannya. Kepada warganya, Chastelein mengenakan cukai setiap kali panen
padi. Besarnya 20 persen dari hasil yang diperoleh.

Chastelein berhasil
membangun Depok. Sampai awal abad 20, suasana Depok memang asri. Iklim sejuk,
dengan hamparan sawah disana-sini. Pohon bambu merumpun, dan jalan-jalan berbatu
nampak bersih.

Selama di Depok, Chastelein juga mengawini dua wanita pribumi.
Dari salah seorang istrinya lahirlah Maria Chastelein, yang diakuinya dihadapan
notaris. Anaknya yang lain diberi nama Catharina van Batavia.

Untuk
memperlancarkan misi Krister. Cornelis Chastelein mendirikan sebuah gereja, yang
terbuat dari kayu. Itu dilakukannya pada tahun 1700. Menjelang abad ke-19,
gereja itu diperbarui dengan batu. Gereja itu hancur pada tahun 1836, ketika
gempa kuat melanda Depok. Gereja itu kemudian di bangun kembali, dan tetap
berdiri kokoh sampai sekarang, di jalan Pemuda. Namanya Gereja Immanuel. Pada
saat ini gereja Immanuel telah di renovasi kembali untuk dapat menampung jemaat
gereja yang jumlahnya semakin bertambah. Dan yang spesifik dari gedung gereja
yang baru ini adalah dituliskannya nama-nama ke dua belas kepala keluarga yang
di berikan Chastelein di pintu-pintu masuknya.

Sebagai tempat Penyebaran
agama Kristen, di Depok juga didirikan sekolah seminari yang pertama di
Indonesia, pada tahun 1878. Dari situlah, ketika itu, seluruh pendeta di
Indonesia disebarkan. Setiap tahun, para penginjil berkumpul di kota yang
berhawa sejuk itu.

Sekolah itu di tutup pada 1926, karena di daerah-daerah
lain di Indonesia sudah berdiri banyak sekolah yang sejenis. Sekarang bekas
sekolah itu menjadi panti werda. Letaknya di dekat stasiun kereta api Depok
Lama.

Semuanya berjalan lancar, selama Chastelein masih hidup. Dan atas
kemurahan hatinya, beberapa bulan sebelum wafat (13 Maret 1714), ia menulis
surat wasiat yang isinya, antara lain mewariskan tanah Depok yang dibelinya dulu
kepada para pekerjanya yanbg terdiri dari 12 marga itu.

Dengan adanya surat
wasiat itu, maka kedudukan para pekerjapun berubah menjadi manusia yang merdeka.
Pada saat kematiannya (28 Juni 1714). Chastelein tidak cuma mewariskan tanah
yang begitu luas. Ia juga membagi-bagikan sejumlah uang. Setiap keluarga
memperoleh 16 ringgit. Selain itu, ia juga mewariskan 300 ekor kerbau, dua
perangkat gamelan yang dihiasi dan bertakhtakan emas, dan 60 tombak berlapis
perak.

Sepeninggal Chastelein, bekas istrinya, Catharina van Vaalberg,
mencoba untuk menuntut hak waris. Tapi sayang, gugatan sang istri yang kawin
lagi dengan Francois de Witte van Schooten, seorang pegawai pengadilan negeri,
tak di kabulkan. Warisan itu tetap menjadi milik 12 marga itu. Sayangnya warisan
yang serba gemerlap itu raib ketika terjadi huru-hara di masa revolusi
dulu.
Nama Chastelein, sekarang dikenal karena LCC (Lembaga Cornelis
Chastelein) dan sebuah perkuburan mengabadikan namanya.